Judul : Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten
link : Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten
Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten
Pada masa era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa diwarnai konlik antara Banten dengan VOC yang kian memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram buat secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang sudah menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa perlu berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang diketahui dengan Sultan Haji diangkat menjadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa serta dibantu oleh putra lainnya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caef yang kemudian mendekati serta menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini selaku upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat mau menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji buat mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten perlu menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC bakal diizinkan buat memonopoli perdagangan lada di Banten serta Sultan Banten perlu mengusir para pedagang Persia, India, serta Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten perlu membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai serta pedalaman Priangan perlu lekas ditarik kembali.
Oleh karna dijanjikan bakal lekas menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melaksanakan kudeta kepada ayahnya serta berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak cuma berfungsi selaku tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga selaku simbol sudah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana Surosowan buat mengepung Sultan Haji serta VOC yang sudah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan serta Sultan Haji lekas dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui kalau Sultan Haji sudah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC buat menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot serta W. Caef, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian kalau VOC bakal diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack serta De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan serta Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melaksanakan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, serta Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang, Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang, 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan, sebanyak 500 orang berupaya buat mempertahankan Tirtayasa, serta sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, serta Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara serta Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, serta Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara serta Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, serta Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, serta Tirtayasa serta membakarnya. Ledakanledakan serta pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng serta keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali buat mencari Sultan Ageng Tirtayasa serta membujuknya buat menghentikan perlawanan serta turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji buat menjemput ayahnya. ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos serta pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji serta VOC lekas menangkap Sultan Ageng Tirtayasa serta dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu sudah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melaksanakan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tak lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya selaku berikut:
1. Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, serta pasal yang masih dipercayai serta menguntungkan bagi kedua belah pihak bakal dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap selaku kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan kalau Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC serta terutama sunan atau susuhunan atau putraputra mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melaksanakan penyerangan atau permusuhan karna ketenangan serta perdamaian di Jawa bagaimanapun perlu terlaksana.
2. Dan oleh karna penduduk kedua belah pihak perlu ada ketenangan serta bebas dari segala macam pembunuhan serta perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan serta pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebalik nya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah serta sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masingmasing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, serta kalau tidak maka bakal dianggap selaku musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
3. Dan karna perlu diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau sudah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya serta kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang bakal menjadi milik atau ditempati VOC.
4. Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten serta warganya, Apabila terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, perlu mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barang-barangnya.
5. Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan serta kesultanan Banten sebagaimana sudah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten serta demikian pula akibat pembunuhan serta perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, serta segala kerugian-kerugian lainnya perlu diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
6. Setelah perjanjian ditandatangani serta disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, Apabila datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC bakal lekas ditahan serta kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
7. Bahwa karna Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka perlu dinyatakan kalau kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali selaku sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian serta persahabatan ini sudah dimengerti oleh kedua belah pihak.
8. Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan kalau VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah buat loji, maka menyimpang dari hal itu VOC bakal menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
9. Sultan berkewajiban buat di waktu yang bakal datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karna bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10. Karena perjanjian ini perlu tetap terpelihara serta berlaku terus hingga masa yang bakal datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya perlu menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, serta dimaklumi, dianggap suci, dipercayai serta benar-benar bakal dilaksanakan serta kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan serta Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC serta Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan serta Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus.
Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karna dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam serta luar negeri perlu atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten serta selaku simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. tidak cuma itu, didirikan pula benteng Speelwijk selaku bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten selaku pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karna tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
enderitaan rakyat kian berat bukan Saja karna pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karna sultan perlu membayar biaya perang, tetapi juga karna monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa buat menjual hasil pertaniannya terutama lada serta cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, serta Denmark diusir dari Banten serta pindah ke Bangkahulu, karna banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, serta kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. tidak cuma menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan kalau VOC merupakan tuan yang perlu dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhof turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karna Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak memiliki anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 ialah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Ariin (1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Ariin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempahrempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karna Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karna itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu serta kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya perlu dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu serta kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas serta tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya perlu dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya perlu dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC.
Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar cuma 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelitbelit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan selaku berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, serta pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, serta lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan serta kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Ariin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi serta dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Ariin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti selaku putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah serta persetujuan VOC, Sultan Zainul Ariin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota.
Setelah dibatalkan selaku putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia serta di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC serta diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Tak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC serta diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan selaku Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat serta sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar serta penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melaksanakan perlawanan bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang ialah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok awal yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas buat melaksanakan penyerangan ke Kota Surasowan.
Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten serta menjadikan Sajira yang terletak di Lebak selaku salah satu pusat pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan wakilnya di Banten buat menangkap Ratu Syarifah Fatimah serta Sultan Syarifuddin yang dianggapnya selaku sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua serta Sultan Syarifuddin ke Banda. Tak lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Ariin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. tidak cuma itu, Jacob Mossel pun lekas mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya serta ditetapkan selaku putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali perlu menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya kian memperkuat serta mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi selaku berikut.
1. Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
2. Sultan bakal mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
3. Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
4. Banten cuma boleh menjual kopi serta tebu kepada VOC saja.
5. Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi serta tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, serta pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran serta pembesar keraton melaksanakan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konlik senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten serta bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin serta Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Ralles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
2. Kabupaten Banten Kulon (Banten Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
3. Kabupaten Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
4. Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia oleh Binuko Amarseto
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang diketahui dengan Sultan Haji diangkat menjadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa serta dibantu oleh putra lainnya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caef yang kemudian mendekati serta menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini selaku upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat mau menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji buat mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten perlu menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC bakal diizinkan buat memonopoli perdagangan lada di Banten serta Sultan Banten perlu mengusir para pedagang Persia, India, serta Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten perlu membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai serta pedalaman Priangan perlu lekas ditarik kembali.
Oleh karna dijanjikan bakal lekas menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melaksanakan kudeta kepada ayahnya serta berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak cuma berfungsi selaku tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga selaku simbol sudah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana Surosowan buat mengepung Sultan Haji serta VOC yang sudah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan serta Sultan Haji lekas dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui kalau Sultan Haji sudah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC buat menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot serta W. Caef, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian kalau VOC bakal diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack serta De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan serta Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melaksanakan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, serta Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang, Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang, 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan, sebanyak 500 orang berupaya buat mempertahankan Tirtayasa, serta sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, serta Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara serta Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, serta Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara serta Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, serta Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, serta Tirtayasa serta membakarnya. Ledakanledakan serta pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng serta keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali buat mencari Sultan Ageng Tirtayasa serta membujuknya buat menghentikan perlawanan serta turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji buat menjemput ayahnya. ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos serta pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji serta VOC lekas menangkap Sultan Ageng Tirtayasa serta dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu sudah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melaksanakan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tak lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya selaku berikut:
1. Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, serta pasal yang masih dipercayai serta menguntungkan bagi kedua belah pihak bakal dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap selaku kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan kalau Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC serta terutama sunan atau susuhunan atau putraputra mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melaksanakan penyerangan atau permusuhan karna ketenangan serta perdamaian di Jawa bagaimanapun perlu terlaksana.
2. Dan oleh karna penduduk kedua belah pihak perlu ada ketenangan serta bebas dari segala macam pembunuhan serta perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan serta pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebalik nya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah serta sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masingmasing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, serta kalau tidak maka bakal dianggap selaku musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
3. Dan karna perlu diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau sudah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya serta kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang bakal menjadi milik atau ditempati VOC.
4. Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten serta warganya, Apabila terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, perlu mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barang-barangnya.
5. Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan serta kesultanan Banten sebagaimana sudah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten serta demikian pula akibat pembunuhan serta perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, serta segala kerugian-kerugian lainnya perlu diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
6. Setelah perjanjian ditandatangani serta disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, Apabila datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC bakal lekas ditahan serta kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
7. Bahwa karna Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka perlu dinyatakan kalau kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali selaku sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian serta persahabatan ini sudah dimengerti oleh kedua belah pihak.
8. Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan kalau VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah buat loji, maka menyimpang dari hal itu VOC bakal menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
9. Sultan berkewajiban buat di waktu yang bakal datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karna bertentangan dengan isi perjanjian ini.
10. Karena perjanjian ini perlu tetap terpelihara serta berlaku terus hingga masa yang bakal datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya perlu menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, serta dimaklumi, dianggap suci, dipercayai serta benar-benar bakal dilaksanakan serta kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan serta Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC serta Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan serta Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus.
Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karna dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam serta luar negeri perlu atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten serta selaku simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. tidak cuma itu, didirikan pula benteng Speelwijk selaku bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten selaku pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karna tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
enderitaan rakyat kian berat bukan Saja karna pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karna sultan perlu membayar biaya perang, tetapi juga karna monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa buat menjual hasil pertaniannya terutama lada serta cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, serta Denmark diusir dari Banten serta pindah ke Bangkahulu, karna banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, serta kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. tidak cuma menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan kalau VOC merupakan tuan yang perlu dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhof turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karna Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak memiliki anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 ialah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Ariin (1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Ariin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempahrempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karna Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karna itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu serta kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya perlu dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu serta kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas serta tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya perlu dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya perlu dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC.
Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar cuma 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelitbelit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan selaku berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, serta pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, serta lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan serta kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Ariin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi serta dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Ariin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti selaku putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah serta persetujuan VOC, Sultan Zainul Ariin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota.
Setelah dibatalkan selaku putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia serta di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC serta diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Tak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC serta diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan selaku Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat serta sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar serta penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melaksanakan perlawanan bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang ialah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok awal yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas buat melaksanakan penyerangan ke Kota Surasowan.
Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten serta menjadikan Sajira yang terletak di Lebak selaku salah satu pusat pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan wakilnya di Banten buat menangkap Ratu Syarifah Fatimah serta Sultan Syarifuddin yang dianggapnya selaku sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua serta Sultan Syarifuddin ke Banda. Tak lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Ariin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. tidak cuma itu, Jacob Mossel pun lekas mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya serta ditetapkan selaku putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali perlu menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya kian memperkuat serta mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi selaku berikut.
1. Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
2. Sultan bakal mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
3. Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
4. Banten cuma boleh menjual kopi serta tebu kepada VOC saja.
5. Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi serta tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, serta pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran serta pembesar keraton melaksanakan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa serta Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konlik senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten serta bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin serta Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Ralles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
2. Kabupaten Banten Kulon (Banten Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
3. Kabupaten Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
4. Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia oleh Binuko Amarseto
loading...
Demikianlah Artikel Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten
Sekianlah artikel Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten dengan alamat link https://teknozupdate.blogspot.com/2019/10/pergolakan-serta-keruntuhan-kerajaan.html
0 Response to "Pergolakan Serta Keruntuhan Kerajaan Banten"
Post a Comment